Minggu, 23 Desember 2012

KEBEBASAN HAKIM Chapter 2 : Nilai Tanggung Jawab Hakim

Seperti yang telah gue jelaskan dalam chapter sebelumnya bahwa kebebasan eksistensial dan sosial dijadikan landasan berpijak bagi setiap orang, termasuk Irfan hakim, hakim garis, maupun hakim di lembaga peradilan untuk membuat sikap dan tindakan dalam berbagai bentuknya secara independen. Namun landasan tersebut juga harus dibarengi dengan nilai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan.

Pada hakekatnya indepedensi dan kemandirian hakim dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi Internastional Commisioan of Jurists dikatakan bahwa Indepedence doesn’t mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat bertindak contra legem. Kebebasan dan indepedensi tersebut diikat pula dengan seutas tali kutang yang disebut pertanggungjawaban atau akuntanbilitas yang kedua hal tersebut indepedensi dan akuntanbilitas pada dasarnya seperti romeo dan juliet. Karena pada dasarnya tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab, dengan kata lain independency of judiciary haruslah diimbangi dengan pasanganya yaitu judicia accountability. Dan yang perlu disadari adalah social accountanbility yaitu pertanggungjawaban pada masyarakat karena pada dasarnya tugas-tugas peradilan maupun badan-badan kehakiman adalah melaksanakan public service dibidang keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan.

Penilaian mengenai putusan hakim yang bertanggung jawab dapat dicocokkan dengan tingkat kepuasan masyarakat  selaku pemberi kebebasan sosial dengan menimbang apakah putusan hakim itu telah memenuhi rasa keadilan atas kebebasan sosial yang dilanggar oleh orang yang dikenai putusan tersebut. Dan seorang hakim akan mampu memuaskan tuntutan itu sejauh ia menggunakan kebebasan eksistensialnya dalam membuat keputusan memperhitungkan objektivitas tindakan, bukan dengan menebar kegantenganya karena pada dasarnya tidak semua laki-laki itu homo berarti tidak semua laki-laki suka dengan orang ganteng. Objektivitas seorang hakim hanya dimiliki ketika seorang hakim menggunakan moral otononomnya untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab.

Pertimbangan lain yang tentunya tak kalah penting adalah membiarkan sejenak suara hati berbicara. Suara hati mutlak yakni bahwa tuntutanya tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-pertimbangan untung rugi, kegalauan ,ditolak gebetan, oleh pendapat orang lain dan perintah berbagai otoritas oleh tuntutan ideologi atau perasaan kita sendiri. Disini gue mulai curiga dengan para hakim. jangan-jangan memang benar apa yang gue pikirkan selama ini, bahwa mereka sebenarnya adalah mutan! Bagaimana bisa manusia biasa dapat mengeluarkan suara dalam hati. Ini aneh dan tidak logis (kesimpulan : hakim adalah mutan, dan para mutan tergabung  dalam X-men, jadi hakim adalah anggota X-men)

Suara hati memuat tuntutan mutlak untuk selalu bertindak baik, jujur, wajar, dan adil (menurut Magnis-Suseno) bukan menurut gue. Dalam kerangka teori kebebasan menurut Magnis-Suseno, bahwa seorang hakim didalam membuat keputusan harus berdasarkan pertimbangan yang matang dengan berangkat dari kebebasan eksistensialnya yang mendapat tempat dalam kebebasan soisal yang diberikan. Pertimbangan lanjutanya bahwa putusan yang dibuat oleh hakim harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pertimbangan tersebut hakim akan dapat menghasilkan putusan yang memuaskan kebebasan eksistensialnya pada satu sisi, memuaskan kebebasan sosialnya, memuaskan rasa keadilan dan memuaskan orang-orang yang merasa dipuaskan.





Tubi Kontinyued..................................................................................................................

0 komentar:

Posting Komentar